Pendidikan berkembang melalui bermacam proses yang terjadi pada
masyarakat sesuai dengan sejarah berbagai negara di dunia barat. Pada
awalnya, lembaga yang memiliki tanggung jawab sebagai penyalur
sosialisasi adalah gereja dan keluarga. Lalu, lembaga pendidikan
menggantikan lembaga keluarga dan gereja sebagai penyalur sosialisasi
kepada anak-anak. Pendidikan di beberapa negara Eropa pada jaman
pertengahan ditentukan oleh otoritas mutlak melalui lisensi dari paus
atau kaisar untuk mengajarkan misteri dari hukum pengobatan dan teologi
di universitas beraliran kristen (Vaizey, 1974:59). Pendidikan ber
hubungan dengan kepercayaan bahwa seseorang akan mencapai kebenaran
dengan membaca kitab injil. Jadi, pendidikan terkesan dipaksakan dan
tidak boleh dijalankan tanpa petunjuk dari gereja dan sebagai
perpanjangan tangan untuk mengontrol masyarakat.
Sebelum pertengahan abad 19, lembaga pendidikan dapat dimasuki
berdasarkan pada kelas sosial. Sekolah umum merupakan sekolah privat
dengan biaya yang mahal (Miflen dan Mifflen, 1986: 12). Anak-anak dari
keluarga menengah ke bawah sulit untuk sekolah, karena masalah
ketidakmampuan memenuhi biaya pendidikan.
Pendidikan dapat dikembangkan berdasarkan adanya tuntutan penyediaan
tenaga kerja untuk berbagai kebutuhan negara. Pemerintah Inggris membuat
aturan tentang pendidikan untuk anak-anak dari keluarga miskin pada
tahun 1833, yaitu ketika factory act (peraturan kepabrikan) seolah-olah
memberikan larangan mengenai tenaga kerja anak (buruh anak). Peraturan
tersebut sulit dijalankan, karena tuntutan kebutuhan tenaga kerja murah.
Vaizey (1974:18) menyatakan bahwa pendidikan akan dianggap sukses
apabila rakyat berhasil dilatih untuk menjalankan sebuah pabrik,
membangun tentara, atau mengembangkan suatu sistem pertanian.
Pendidikan yang diajarkan dengan cara berbeda antara kaum borjuis dan
kaum pekerja. Anak-anak kaum borjuis dididik untuk menjadi pemimpin dan
juga diberikan pendidikan berdasarkan buku, sedangkan anak-anak kaum
pekerja dilatih untuik bekerja di dalam industri produksi (Vaizey,
1974:36). Pendidikan dapat dimasuki berdasarkan pengkotakan yang diatur
sesuai dengan penempatan kelas sosial. Ketidak adilan pendidikan semakin
berkembang seiring kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi di Jerman dan di Amerika Serikat membuat Inggris
menempati posisi yang imperior. Negara Jerman dan Amerika Serikat
mempunyai sistem pendidikan yang lebih maju dibandingkan Inggris
(Mifflen dan Mifflen, 1986:13). Inggris mencoba ikut bersaing dengan
mengembangkan jurusan teknik dan ketrampilan disebabkan ingin menyamai
kedudukan perdagangan Negara Jerman dan Amerika. Pendidikan di ketiga
negera tersebut diperluas dengan cepat untuk memberikan keterampilan
praktis yang akan digunakan untuk para pekerja di berbagai bidang
pekerjaan.
Pada perkembangannya, Siswa pada lembaga-lembaga pendidikan menjadi
semakin berkurang. Blyth (1972) melaporkan sampai pertengahan tahun
duapuluhan, hanya 12% dari mereka yang menikmati sekolah-sekolah dasar
dan empat dari seribu orang siswa yang melanjutkan pendidikan ke tingkat
selanjutnya (dikutif oleh Mifflen dan Mifflen, 1986:14). Kenyataan
tersebut terjadi tidak lepas karena anak-anak tidak mampu dibentuk
menjadi buruh. Pendidikan bagi anak-anak kaum buruh dibentuk dengan
status dan cara hidup tingkat buruh. Pendidikan dikembangkan demi
mendapatkan tenaga kerja murah.
Pendidikan tidak adil bagi anak-anak miskin tidak hanya terjadi di
Inggris, Amerika dan Jerman. Ketidakadilan pada lembaga pendidikan juga
terjadi di Kanada, terjadi diskriminasi terhadap pribumi, anak-anak kaum
buruh, orang kulit hitam, dan para imigran. Katz (1973, dikutip oleh
Mifflen dan Mifflen, 1986:56) mencatat bahwa diperkenalkannya sekolah
yang bebas dan wajib di Kanada bukan suatu reformasi yang ditujukan
untuk keuntungan pekerja golongan miskin. Kaum buruh juga terkendala
oleh biaya pendidikan yang tidak murah. Kaum buruh mengalami kesulitan
untuk memasuki lembaga pendidikan, karena tidak sanggup untuk membayar
biaya sekolah.
Jadi, pendidikan di beberapa negara barat merupakan wujud dari
permintaan akan tenaga kerja yang murah. Kebutuhan yang mendesak dan
persaingan kemajuan teknologi semakin membuat orang-orang tidak mampu
atau kaum buruh semakin tersingkir dari lembaga pendidikan. Anak-anak
kurang mampu dibentuk menjadi tenaga terampil, mereka kesulitan
menikmati pendidikan dan tidak bisa keluar dari pengkotakan, kaum buruh
menempati kelas bawah dan kaum borjuis menempati tingkat atas sebagai
golongan yang mampu memasuki lembaga pendidikan.
Ketidakaadilan akan pendidikan juga dibawa oleh beberapa negara Eropa
ke negara jajahannya. Pada sektor ekonomi modern dan kaya, yang
terpusat dikota-kota besar negera sedang berkembang. Pendidikan
ditentukan oleh suatu struktur yang mempunyai persamaan besar dengan
model pendidikan dari Negara penjajah (Vaizey, 1974: 62), contohnya
Negara India dan Pakistan ditemukan sekolah dasar siang yang besar
seperti model sekolah di Inggris untuk anak-anak dari pegawai negeri dan
masyarakat pengusaha, dan sekolah berasrama khusus untuk anak-anak kaum
bangsawan. Belanda juga mengembangkan model pendidikan berdasarkan
kepentingan sebagai negara penjajah di Indonesia.
Sejarah Pendidikan di Indonesia
Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda
yang menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan
ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia
(Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk
semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih
diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia
dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi
berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan
oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan
pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai masalah peperangan.
Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun
1825 sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang
Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan
banyak korban. Belanda membuat siasat agar pengeluaran untuk peperangan
dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara yang
paling ampuh untuk memperoleh keuntungan yang maksimal yang dikenal
dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa
dapat dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup keuntungan
sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi bagian yang dirugikan
karena digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin yang sebagian
bekerja sebagai petani juga dimanfaatkan untuk menambah kas negara
penguasa.
Kehidupan petani yang selalu ditekan bukan masalah yang baru. Petani
menduduki posisi sosial yang selalu dimanfaatkan, lahan pertanian
merupakan tempat untuk menggantungkan pendapatan dan hidup petani,
terutama petani gurem. Petani menjadi sapi perahan yang harus membayar
pungutan resmi untuk membantu jalannya pemerintahan dan penyuplai
kebutuhan pejabat daerah (Mubyarto, 1987:24). Praktek tanam paksa
sekitar tahun 1830-1870 (di Yogyakarta, Solo, dan Priangan sampai 1918)
merupakan kesengsaraan yang tiada taranya dan memiliki kesan yang paling
hitam bagi petani dari masa penjajahan Belanda.
Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah,
pemerintah mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh
masyarakat untuk mempermudah komunikasi antara pribumi dan Belanda.
Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein Ambtenaarsexamen atau ujian
pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Syarat
tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah.
Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah
mempunyai kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin
keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari kaum
ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih
efektif, karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu
keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari lapisan-lapisan
sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan
pribumi sendiri terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.
Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas
pendidikan anak Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan
berdasarkan faktor ekonomi di dalam maupun di luar Indonesia, seperti
kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern yang mampu
menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik
etis terutama sebagai alat perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis
agar upah kerja serendah mungkin untuk mencapai keuntungan yang
maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang dicanagkan sebagai
kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar panen padi
tidak terancam gagal dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan.
Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja, salah satunya
untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan
rakyat.
Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena
krisis dunia, tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut
mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis ekonomi
merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan
dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat termasuk
penyediaan tenaga pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah
dasar yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru (Mestoko,
1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap layak menjadi guru.
Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan
uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang
berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan.
Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang kebanyakan menjadi target
yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah.
Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama,
gradualisme yang luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak
Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang
hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu
diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan,
pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan
dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah.
Ketiga, kontrol yang sangat kuat. Pemerintah Belanda berada dibawah
kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan pemerintahan atas nama raja
Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua tidak
mempunyai pengeruh langsung politik pendidikan. Keempat, Pendidikan
beguna untuk merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan untuk mendidik
anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga kerja yang murah.
Kelima, prinsip konkordasi yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda
mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di negeri
Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda.
Keenam, tidak adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan dengan
ciri-cri tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang mampu.
Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada
perkembangan pengetahuan anak-anak Indonesia.
Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai
siasat untuk mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada
tahun 1907. Tipe sekolah desa yang dianggap paling cocok oleh Gubernur
Jendral Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari
kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan
disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut penduduk tidak
bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan tetap menjadi tenaga kerja
demi pengamankan hasil panen.
Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah
menjadi madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren
dibumbui dengan pengetahuan umum. Cara tersebut dianggap efektif,
sehingga pemerintah tidak usah membangun sekolah dan mengeluarkan biaya
(Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas
dua, dianggap sanggup menjadi guru sekolah desa. Guru yang lebih baik
akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar di lingkungan
desa.
Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan
sejarah yang kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk
meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan
biaya yang murah, agar tidak membebani kas pemerintah. Politik etis
menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang
sangat mendesak dan berbagai masalah lain menjadi kenyataan yang
tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda.
Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide
kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan
semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma
(romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang
(Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang.
Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang.
Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko Iciu
yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran
bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan
kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.
Kebangkitan Asia menjadi slogan omong kosong pada kenyataannya.
Mubyarto (1987:36) menjelaskan pertanian Indonesia diusahakan dapat
mendukung usaha peperangan. Bibit baru dari Taiwan memang berumur lebih
pendek dengan hasil per hektar lebih tinggi dipaksakan untuk ditanam
dengan sistem larikan (dalam garis lurus) dan dengan menggunakan pupuk
hijau dan kompos. Petani menjadi membenci sistem baru tersebut. jaman
Jepang sebagai jaman penyiksaan yang kejam. Jadi, petani dibuat sebagai
sumber pendapatan yang terus dipaksa untuk manambah hasil panen.
Penduduk sebagai alat komoditas yang terus diperas.
Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau
pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan
dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang
murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan
sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya
untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah.
Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia
setelah merdeka.
Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu
menyangkut penyesuaian bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan
kepada kementrian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat
untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran
sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu,
pemerintah mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta
huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya,
kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan
usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa,
bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161).
Program tersebut menunjukkan jumlah orang yang buta huruf seluruh
Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta huruf pada tahun
1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta huruf latin (Mestoko dkk,
1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang
diprogramkan oleh pemerintah untuk menanggulangi angka buta aksara di
Indonesia dan buta pengetahuan dasar, tetapi pendidikan kurang lebih
tidak berdampak pada rumah tangga kurang mampu.
Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama
dari sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus
gampang muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang
hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas
gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong
royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta
(asing dan nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian
dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37).
Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu
sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta
Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah
dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan.
Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara
tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal.
Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan di
Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup dalam
kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang
paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan
atas hidup dalam kemewahan.
Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit
dicapai oleh orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka
diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa.
Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai keuntungan
yang maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga
kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk
pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk
mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan
pemasukan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar