Minggu, 18 Maret 2012

MASA PUTIH ABU-ABU

Bertepatan dengan hari-hari terakhir saya mengenakan seragam putih abu-abu (lagi sombong nih, udah mau jadi mahasiswa ^^), saya jadi seperti semua orang: lebih menghargai apa artinya pertemanan.
Sekedar informasi, sebelum sempat mengicipi rasanya putih abu-abu, semasa saya pake seragam warna-warni (di teka maksudnya), putih merah, dan putih biru, saya selalu menjadi sepeti anak hilang ( maksudnya?): saya tak punya teman. Di saat anak-anak satu sekolah bermain bekel di teras dan kejar-kejaran di lapangan, saya manyun sendirian aja di depan kelas (soalnya waktu itu kalo istirahat gak boleh masuk kelas). Waktu anak-anak pada ribut ngegosip hal-hal penting dan gak penting, saya juga manyun aja di pojokan kelas. Tiap kali masuk pagi pada rebutan kursi deretan paling bontot tetep aja saya dapet bangku depan sendiri. Sendirian lagi! Entah saya yang gak nyambung ama mereka ato mereka yang takut ketularan manyun saya (halah..) tapi yang pasti saya merasa sangat kesepian.. TT(aduh.. cup cup.. gak ada permen..)
Nah, begitu menginjak pavingan warna merahnya parkiran SMA pertama saya (emang lo SMA berapa kali, Dy? –) dan berkenalan dengan puluhan wajah baru, saya pun menemukan arti hidup yang sesungguhnya (waduh, ketinggian bahasanya..). Memang benar mereka masih wajah-wajah asing yang bagi saya sama saja seperti wajah-wajah yang saya kenal di bangku warna-warni-merah-dan-biru dulu. Dan saya pikir mereka bakal sama aja dengan mereka yang saya kenal di bangku warna-warni-merah-dan-biru itu: nyuekin saya seolah-olah saya punya kutil sebesar bola tenis di bawah hidung saya dan bisa menular dalam radius tiga meter (kutil segede itu gimana lo nafasnya, Dy?)..
Pertamanya emang betul sih (bukan kutilnya yang betul, tapi sifat wajah-wajah barunya.. –). Tapi lama kelamaan tidak. Entah mereka yang memang ‘berbeda’ dengan mereka, atau justru saya yang ternyata bisa ‘berbeda’ dengan saya yang sebelumnya (mbulet) tapi kenyataannya mereka memang berbeda. Di bangku anak tak berjurusan di SMA, saya belajar satu hal:
TEMAN, artinya bukan sekedar “orang lain yang kita kenal dan mengenal kita secara dekat”, tapi
TEMAN, artinya BELAHAN OTAK KITA
(bukan berarti kita berteman supaya kita gak mikir-mikir banget waktu ulangan, lo ^^)
Karena sesungguhnya kita berpikir dan merasakan di bagian tubuh yang sama, yaitu otak. Hati itu tempat pembentukan sel darah merah dan pembentukan empedu yang berguna untuk mengemulsi lemak dan membentuk pigmen bilirubin dan biliverdin sebagai pewarna urin yang sudah dibentuk di ginjal (bentar-bentar, tadi kayaknya gak ngomongin ini, deh –a). Sedangkan jantung itu cuma gumpalan otot di rongga dada sebelah kiri yang berguna untuk memompa darah ke seluruh tubuh dan paru-paru (bukan ngomongin ini juga, deh, kayaknya.. apa ya?) Sekarang mari kita lihat, di mana hulu dari seua yang kita anggap pusat perasaan–set set set–dan ternyata semuanya kembali ke OTAK.
NAh, sekarang bayangkan otak kita terbelah dan salah satu belahannya berubah wujud jadi Power Ranger yang kita namakan ‘teman’. Dia nyambung sama apa yang kita pikirkan, dia paham sama apa yang kita rasakan, dia tahu yang kita mau, dan demikian juga kita terhadapnya.
Dan itulah yang pertama saya pelajari dari bangku putih abu-abu. Dan.. (waduh, terlalu privasi) di bangku tanpa jurusan itu juga saya merasakan bahwa pribadi sedatar tembok saya ternyata bisa berubah jadi selembut yang namanya–(tiiit, access denied)–saya jadi sadar bahwa masa SMA bisa merubah apa saja! (-^^- hehe..)
(Tapi bukan itu intinya..–) Lalu, begitu naik kelas dua, saya mendapat pelajaran berikutnya:
SMA, artinya bukan “masa pendidikan di mana seorang anak belajar merintis masa depan dari kehidupan yang kekanak-kanakan menuju dewasa”, tapi
SMA, artinya “masa di mana yang salah dan yang betul adalah benar”,
(hah?)
Hal ini merajuk pada masa-masa saya pertama kali merasakan kelas jurusan IPA bersama temen- teman saya yang–sedikit-sedikit banyak–gila. Waktu itu saya duduk paling depan, , saya akui itu adalah masa di mana saya mendapat prestasi belajar paling jeblok seumur hidup saya (^^ hehe, jadi malu) sekaligus paling tinggi (kadang-kadang). Paling jeblok soalnya dalam jam-jam sekolah, porsi belajar saya hanya 20% dari porsi “gila-gilaan bersama teman-teman” saya, artinya saya hanya ‘serius’ selama 1,5 jam dari 7 jam saya berada di sekolah, dan sisanya adalah kegilaan bersama teman-teman. (hehe..)
Dan begitu saya naik kelas yang merupakan tujuan akhir saya menginjak paving merah parkiran MAN, saya mempelajari hal terakhir:
KAYA, artinya bukan “mempunyai banyak harta dan ilmu setinggi bintang”, tapi
KAYA artinya adalah “mempunyai banyak belahan otak di mana mereka juga mempunyai banyak harta dan ilmu setinggi bintang seperti yang telah dan akan kita capai”.
(..huaa, dalem bener..)
Tapi itu memang hal yang saya dapet selama mengenakan seragam kebanggaan saya selama tiga tahun terakhir ini. Gak rugi saya bolak-balik ber kilo tiap hari cuman buat melototin papan tulis .Tapi yang paling penting saya gak rugi sekolah di MAN kebanggaan saya karena dengan sekolah di sana saya mengenal banyak teman yang tak akan pernah mungkin tergantikan..

SEKIAN ..

Wassalam

              By
 INDRA AHMAD FIRDAUS
            (XII ipa 2)