Bertepatan dengan hari-hari terakhir saya mengenakan seragam putih
abu-abu (lagi sombong nih, udah mau jadi mahasiswa ^^), saya jadi
seperti semua orang: lebih menghargai apa artinya pertemanan.
Sekedar informasi, sebelum sempat mengicipi rasanya putih abu-abu,
semasa saya pake seragam warna-warni (di teka maksudnya), putih merah,
dan putih biru, saya selalu menjadi sepeti anak hilang ( maksudnya?):
saya tak punya teman. Di saat anak-anak satu sekolah bermain bekel di
teras dan kejar-kejaran di lapangan, saya manyun sendirian aja di depan
kelas (soalnya waktu itu kalo istirahat gak boleh masuk kelas). Waktu
anak-anak pada ribut ngegosip hal-hal penting dan gak penting, saya juga
manyun aja di pojokan kelas. Tiap kali masuk pagi pada rebutan kursi
deretan paling bontot tetep aja saya dapet bangku depan sendiri.
Sendirian lagi! Entah saya yang gak nyambung ama mereka ato mereka yang
takut ketularan manyun saya (halah..) tapi yang pasti saya merasa sangat
kesepian.. TT(aduh.. cup cup.. gak ada permen..)
Nah, begitu menginjak pavingan warna merahnya parkiran SMA pertama
saya (emang lo SMA berapa kali, Dy? –) dan berkenalan dengan puluhan
wajah baru, saya pun menemukan arti hidup yang sesungguhnya (waduh,
ketinggian bahasanya..). Memang benar mereka masih wajah-wajah asing
yang bagi saya sama saja seperti wajah-wajah yang saya kenal di bangku
warna-warni-merah-dan-biru dulu. Dan saya pikir mereka bakal sama aja
dengan mereka yang saya kenal di bangku warna-warni-merah-dan-biru itu:
nyuekin saya seolah-olah saya punya kutil sebesar bola tenis di bawah
hidung saya dan bisa menular dalam radius tiga meter (kutil segede itu
gimana lo nafasnya, Dy?)..
Pertamanya emang betul sih (bukan kutilnya yang betul, tapi sifat
wajah-wajah barunya.. –). Tapi lama kelamaan tidak. Entah mereka yang
memang ‘berbeda’ dengan mereka, atau justru saya yang ternyata bisa
‘berbeda’ dengan saya yang sebelumnya (mbulet) tapi kenyataannya mereka
memang berbeda. Di bangku anak tak berjurusan di SMA, saya belajar satu
hal:
TEMAN, artinya bukan sekedar “orang lain yang kita kenal dan mengenal kita secara dekat”, tapi
TEMAN, artinya BELAHAN OTAK KITA
(bukan berarti kita berteman supaya kita gak mikir-mikir banget waktu ulangan, lo ^^)
Karena sesungguhnya kita berpikir dan merasakan di bagian tubuh yang
sama, yaitu otak. Hati itu tempat pembentukan sel darah merah dan
pembentukan empedu yang berguna untuk mengemulsi lemak dan membentuk
pigmen bilirubin dan biliverdin sebagai pewarna urin yang sudah dibentuk
di ginjal (bentar-bentar, tadi kayaknya gak ngomongin ini, deh –a).
Sedangkan jantung itu cuma gumpalan otot di rongga dada sebelah kiri
yang berguna untuk memompa darah ke seluruh tubuh dan paru-paru (bukan
ngomongin ini juga, deh, kayaknya.. apa ya?) Sekarang mari kita lihat,
di mana hulu dari seua yang kita anggap pusat perasaan–set set set–dan
ternyata semuanya kembali ke OTAK.
NAh, sekarang bayangkan otak kita terbelah dan salah satu belahannya
berubah wujud jadi Power Ranger yang kita namakan ‘teman’. Dia nyambung
sama apa yang kita pikirkan, dia paham sama apa yang kita rasakan, dia
tahu yang kita mau, dan demikian juga kita terhadapnya.
Dan itulah yang pertama saya pelajari dari bangku putih abu-abu.
Dan.. (waduh, terlalu privasi) di bangku tanpa jurusan itu juga saya
merasakan bahwa pribadi sedatar tembok saya ternyata bisa berubah jadi
selembut yang namanya–(tiiit, access denied)–saya jadi sadar bahwa masa
SMA bisa merubah apa saja! (-^^-
hehe..)
(Tapi bukan itu intinya..–) Lalu, begitu naik kelas dua, saya mendapat pelajaran berikutnya:
SMA, artinya bukan “masa pendidikan di mana seorang anak belajar
merintis masa depan dari kehidupan yang kekanak-kanakan menuju dewasa”,
tapi
SMA, artinya “masa di mana yang salah dan yang betul adalah benar”,
(hah?)
Hal ini merajuk pada masa-masa saya pertama kali merasakan kelas
jurusan IPA bersama temen- teman saya yang–sedikit-sedikit banyak–gila.
Waktu itu saya duduk paling depan, , saya akui itu adalah
masa di mana saya mendapat prestasi belajar paling jeblok seumur hidup
saya (^^ hehe, jadi malu) sekaligus paling tinggi (kadang-kadang).
Paling jeblok soalnya dalam jam-jam sekolah, porsi belajar saya hanya
20% dari porsi “gila-gilaan bersama teman-teman” saya, artinya saya
hanya ‘serius’ selama 1,5 jam dari 7 jam saya berada di sekolah, dan
sisanya adalah kegilaan bersama teman-teman. (hehe..)
Dan begitu saya naik kelas yang merupakan tujuan akhir saya menginjak paving merah parkiran MAN, saya mempelajari hal terakhir:
KAYA, artinya bukan “mempunyai banyak harta dan ilmu setinggi bintang”, tapi
KAYA artinya adalah “mempunyai banyak belahan otak di mana mereka juga
mempunyai banyak harta dan ilmu setinggi bintang seperti yang telah dan
akan kita capai”.
(..huaa, dalem bener..)
Tapi itu memang hal yang saya dapet selama mengenakan seragam kebanggaan
saya selama tiga tahun terakhir ini. Gak rugi saya bolak-balik ber kilo
tiap hari cuman buat melototin papan tulis .Tapi yang paling penting saya gak rugi
sekolah di MAN kebanggaan saya karena dengan sekolah di sana saya
mengenal banyak teman yang tak akan pernah mungkin tergantikan..
SEKIAN ..
Wassalam
By
INDRA AHMAD FIRDAUS
(XII ipa 2)